PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada suatu
kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri. Bahkan, kadang-kadang kebutuhan
itu timbul karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial dengan kebutuhan hidupnya yang
semakin kompleks, setiap individu ingin merasakan kenikmatan hidup di dunia ini
dengan nyaman. Salah satu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan
pemerintahan Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama
tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi (Tampubolon,
2014).
Masalah besar bangsa ini yaitu korupsi. Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan pada organisasi publik untuk keuntungan pribadi, penyalahgunaan jabatan dapat menghasilkan uang untuk kepentingan partai, suku, kelas, teman, keluarga yang sangat dirahasiakan terhadap pihak lain di kalangan sendiri itu (Umar, 2012). Masalahnya beraneka ragam, mulai dari upaya pencegahan dan pemberantasan sampai pada penanganan kasus korupsi sejak orde baru yang mencapai lebih dari satu quadrillion rupiah (lebih dari Rp.1000 triliun). Jumlah ini akan terus meningkat, baik karena kasus maupun karena opportunity cost (Tuanakotta, 2010: 131).
Praktik korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi baik untuk
tingkat Asia maupun dunia. Oleh karena itu tatanan kelembagaan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari pokok bahasan akutansi forensik di Indonesia
(Tuanakotta, 2010: 131). Dengan maraknya korupsi di Indonesia maka pemerintah
membuat organisasi pemberantan korupsi. Pembarantasan korupsi perlu dilakukan
untuk mendorong pembagunan, namun tentunya dengan strateginya yang tepat agar
tidak terjadi kontra produktif. Dengan strategi yang lebih tepat, pemberantasan
korupsi tentunya akan mendorong pembagunan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat (Umar, 2012).
Bab ini diakhiri dengan
pembahasan mengenai kelompok penekan atau pressure group seperti pers dan LSM.
kelompok penekan memainkan peran peran penting dalam menegakkan keadilan pada
umumnya dan khususnya dalam memberantas korupsi.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang
diangkat oleh penulis disini adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah
Tatanan Kelembagaan Indonesia?
2.
Apakah
fungsi dari Lembaga Pemberantasan Korupsi?
3.
Bagaimana
Interaksi Antarlembaga dalam Memberantas Korupsi?
4.
Apakah maksud dari Anti-Corruption Agencies?
5.
Bagaimanakah maksud dari Lanskap Audit Pemerintahan?
6.
Apakah fungsi dari Pengadilan Tipikor?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui
Tatanan Kelembagaan Indonesia
2.
Untuk mengetahui fungsi
dari Lembaga Pemberantasan Korupsi
3.
Untuk mengetahui Interaksi
Antarlembaga dalam Memberantas Korupsi
4.
Untuk mengetahui Anti-Corruption
Agencies
5.
Untuk
mengetahui bagaimana Lanskap Audit Pemerintahan
6. Untuk mengetahui fungsi dari Pengadilan Tipikor
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tatanan
Kelembagaan
Undang-undang Dasar 1945 (UUD
45) mengatur tatatan kelembagaan penyelenggara negara dengan menganut
asas trias politica, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
dengan ditambah satu lembaga pemeriksa yang bebas dan independen. Secara
ringkas, lembaga-lembaga tersebut meliputi Presiden sebagai pihak eksekutif,
DPR, DPD, dan MPR sebagai pihak legislatif, MK, MA dan KY sebagai pihak
yudikatif, dan BPK sebagai lembaga pemeriksa. Dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi, Indonesia memiliki
suatu Anti-Corruption Agency (ACA) yang dinamakan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPK memiliki tugas dan fungsi yang
meliputi koordinasi, supervisi, penyelidikan, pencegahan, dan pemantauan, terhadap
tindak pidana korupsi.
Dalam memberantas korupsi, KPK
berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya seperti kepolisian, kejaksaan,
BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, Inspektorat Daerah, dan lembaga-lembaga
terkait lainnya. Lembaga audit pemerintahan di Indonesia terdiri atas Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor eksternal dan Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP) selaku auditor intern. APIP sendiri terdiri dari Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, inspektorat jenderal di kementerian/lembaga,
dan inspektorat daerah di provinsi/kabupaten/kota.
Terakhir, satu lagi lembaga
yang dianggap penting keberadaannya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
adalah LSM dan pers, walaupun keberadaannya bukanlah menjadi bagian dari tatanan
kelembagaan pemerintahan. Keberadaannya bisa disebut sebagai kelompok
penekan (pressure group). Dalam hal ini, keberadaannya bisa
memengaruhi proses pemberantasan tindak pidana korupsi yang sedang dilaksanakan
oleh lembaga-lembaga terkait. UUD 45 menyebutkan lembaga negara atau lembaga penyelenggara
negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Secara sederahana, tatanan
kelembagaan ini dapat dilihat dalam Bagan 1.
Bagan 1
Bagan 1 mengacu bab-bab dalam
UUD 45 untuk masing-masing lembaga negara. Di tingkat pusat, ke delapan lembaga
negara ini setara kedudukannya. Dalam bagan tersebut, ada dua kotak besar
dengan bingkai garis putus-putus. Pengelompokkan ini sekadar untuk
menyederhanakan presentasi. Kotak besar pertama berisi tiga kotak kecil, masing-masing
DPR, DPD, dan MPR. Pengotakan ini sejalan dengan Pasal 1 ayat (1): “Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih
melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”
Kotak besar kedua juga berisi
tiga kotak kecil, masing-masing: Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan
Komisi Yudisial. Ketiga lembaga negara ini diatur dalam satu bab, yakni Bab IX,
di UUD 45, dengan judul Bab Kekuasaan Kehakiman. Di tingkat pusat kita melihat empat kelompok kelembagaan. Pertama,
kelompok lembaga yang mencerminkan perwakilan rakyat. Menarik sekali penjelasan
UUD 45 mengenai Pasal 23 yang lama yang berisikan paham demokrasi. Kedua,
adalah Presiden dan Wakil Presiden yang mewakili kekuasaan pemerintahan negara.
Ketiga, kelompok yang mewakili
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya, dan mahkamah konstitusi. Untuk
pembahasan tatanan kelembagaan dalam modul ini, kita hanya akan melihat dua badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung, yakni Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi, baik yang ada di Pusat maupun di Daerah. Badan peradilan lainnya
terdiri atas badan-badan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan miitar, dan peradilan tata usaha negara. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agum dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikah oleh Undang-undang
Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. Ketiga kelompok tersebut merupakan perwujudan
konsep trias politica dalam ketatanegaraan, yaitu ada kelompok
atau cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
tidak merupakan bagian dari ketiga kekuatan atau kekuasaan tersebut di atas.
Lembaga semacam BPK dikenal dalam sistem ketatanegaraan negara-negara
demokrasi. Nama generik untuk lembaga ini adalah Supremes Audit
Institutions (SAI). Secara umum ada tiga model SAI, yakni Napoleonic
System, Westminster System, dan Board System. Meskipun belajar di negeri Belanda dan paham
betul dengan sistem kontinental, Bung Hatta tidak memilih Napoleonic
System maupun Westminster System, tetapi lebih
memilih Board System.
SAI adalah lembaga-lembaga di
tingkat nasional yang bertanggung jawab untuk mengaudit penerimaan dan belanja
negara. Tujuan utama SAI adalah mengawasi pengelolaan keuangan negara dan
kualitas serta kredibilitas pelaporan keuangan pemerintah. SAI menyampaikan informasi
yang dibutuhkan lembaga perwakilan rakyat dan masyarakat luas, dan membuat
pemerintah akuntabel terhadap pengelolaan keuangan negara dan aset negara.
Dengan tujuan utama ini, SAI dapat bertindak untuk membatasi peluang bagi
malpraktik di bidang keuangan negara dan penyalagunaan kekuasaan. SAI adalah
salah satu dari pilar-pilar utama sistem integritas di negaranya.
Bagaimana dengan SAI di
Indonesia? Perubahan ketiga UUD 45 dalam Bab VIII A mengatur antara lain
tentang BPK. Pasal 23E dalam bab ini berbunyi:
(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan
dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
Bagan 2 difokuskan kepada
lembaga negara dan lembaga kuasi negara yang berkaitan dengan sektor keuangan
negara dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Di samping lembaga-lembaga di
atas, ada lagi suatu lembaga yang memfasilitasi pengungkapan tindak kejahatan,
termasuk TPK, yakni Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
untuk kejahatan pencucian uang dan interpol.
Potongan-potongan yang tersebar
di bagan 1 dan bagan 2 dikonsolidasikan dalam bagian 3. Tentunya bagan 3 ini
menyederhanakan dunia nyatanya. Gambar ini menunjukkan komponen-komponen besar
dari tatanan kelembagaan yang kalu berfungsi dengan baik, merupakan cerminan
dari masyarakat yang berkedaulatan rakyat.
Bagan 3
Bagan 3 menunjukkan dua
kelompok besar yaitu lembaga-lembaga penyelenggara negara yang ditetapkan UUD
45 dan kelompok penekan. Tekanan atau tension dalam
keseluruhan tatanan ini tidak lain adalah bagian dari sistem check and
balance yang menjamin tidak adanya kuasa mutlak di satu tangan.
Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak bersifat korup secara mutlak.
Di antara lembaga-lembaga
negara ada tekanan satu kepada yang lain, karena kemandirian dan kewenangan
yang diberikan oleh UUD 45 dan ketentuan perundangan lainnnya. DPR dengan
berbagai haknya, seperi hak bujet, dapat menekan lembaga-lembaga negara lain
dan lembaga kuasi negara. Melalui hak legislasinya, ia dapat mengatur
lembaga-lembaga lain termasuk lembaga swasta melalui penerbitan undang-undang.
Sebaliknya, kekuasaan pemerintahan memungkinkannya menggunakan dana APBN/APBD
yang telah disetujui DPR/DPRD, dan menguasai informasi. Ini merupakan tekanan
kepada DPR/DPRD. BPK memeriksa akuntabilitas lembaga-lembaga negara dan kuasi
negara dan melaporkannya kepada DPR. Kekuasaan kehakiman memastikan bahwa
kekuasaan pemerintah melaksanakan amanat UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Kelompok penekan dalam bagan 3
diwakili beberapa lembaga kuasi negara (LKN) dan LSM. Dalam praktiknya, ada
kekuatan lain, seperti pers dan masyarakat. Kelompok penekan melalui
kewenangannya yang berasal dari ketentuan perundang-undangan maupun karena
pengakuan dan kepercayaan yang mereka peroleh dari masyarakat, memberi tekanan
kepada lembaga-lembaga penyelenggara. Tekanan ini akan membuat atau diharapkan
akan membuat pihak lainnya menjadi waspada dan berhati-hati. Kelompok penekan
bisa juga kehilangan daya tekannya karena praktik-praktik tidak sehat seperti
menerima suap, memeras, dan lain-lain.
Kalau seluruh roda dalam
tatanan kelembagaan tadi berputar dengan lancar, kita mengalami kematangan
dalam demokrasi. Biasanya yang menjadi acuan dari kematangan demokrasi adalah
negara-negara dengan tradisi Yunani-Romawi. Namun di sekitar kita di Asia pun
kita dapat melihat contoh-contoh yang baik. Di India dan Jepang perdebatan dan
sindir-menyindir berlangsung dengan santun dan elok, tidak kalah dengan
keelokan perdebatan di Inggris atau Amerika Serikat. Di Ekstrim lainnya kita
lihat Taiwan (dan sebelumnya Korea Selatan) di mana perdebatan diselesaikan
dengan adu jotos. Di antara kedua ekstrim itu kita menyaksikan keanggunan
demokrasi dan aristokrasi Thailand, di mana pada saat yang tepat kharisma tahta
kerajaan menyelesaikan masalah politik yang berat. Kekecewaan dari pihak
manapun terhadap roda-roda dalam tatanan kelembagaan dan ketidakmampuan
menyampaikan aspirasi secara demokratis akan mendorong parlemen jalanan, aksi
demonstrasi yang anarkis, bentrokan antar kekuasaan dengan kekerasan, dan
segala bentuk kekecewaan terhadap demokrasi.
Theodore Parker mendefinisikan
demokrasi sebagai “a government of all the people, by all the people,
of course a government of the principles of eternal justice, the unchanging law
of God; for shortness’ sake I will call it the idea of Freedom.” Kalau
semua rakyat ikut memerintah, bayangkan tantangan yang dihadapi. Kepentingan di
antara kita bisa berbeda; kepentingan pekerja dan pemberi kerja, kepentingan
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, kepentingan menegakkan keadilan, dan
kepentingan masa depan, dan seterusnya.
Tanpa tradisi berdemokrasi,
kehidupan berdemokrasi bisa sangat melelahkan. Oleh karena itu, tradisi ini
harus terintegrasi dengan pendidikan sejak kecil di sekolah dan di rumah.
Anak-anak diajarkan mengungkapkan pendapat dan perasaannya secara lugas dan
santun, dan di lain pihak, menghargai pendapat orang lain, sekalipun kita tidak
menerimanya. Hampir 2.500 tahun yang lalu, plato melihat “demokrasi sebagai
bentuk yang indah dalam pemerintahan, penuh dengan kebhinekaan dan
ketidakteraturan, dengan menganugerahkan kesetaraan kepada yang istimewa dan
yang tidak istimewa.
Tidak jarang, bangsa yang
menemukan kembali demokrasi, rindu akan masa-masa di mana kekuasaan mutlak bisa
menyelesaikan masalah ekonomi dan pembangunan, masalah keamanan negara, dan
lain-lain masalah bangsa. Di antara pemimpin bangsa ini kita pun masih ada
kerinduan semacam ini.
Dewan Perwakilan Rakyat periode
2009 -2014 akan memiliki tambahan alat kelengkapan baru, yakni Badan
Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). Hal ini diputuskan dalam pembahasan
Rancangan Undang-undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang
prosesnya hampir mendekati tahap akhir. Tujuan penambahan badan tersebut adalah
untuk lebih mengoptimalkan fungsi pengawasan DPR.
BAKN berwenang melaksanakan
penyidikan atasu suatu kasus berdasarkan laporan audit Badan Pemeriksa
Keuangan, masukan dari komisi, atau masukan masyarakat. BAKN akan diisi 12 sampai
13 anggota DPR senior yang pernah menjabat paling sedikit dua periode. BAKN
didukung sekitar 30 staf yang memiliki latar belakang ilmu ekonomi.
B.
Lembaga
Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berdiri pada tanggal 29
Desember 2003 bukanlah lembaga pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia.
KPK didirikan karena kelemahan aparat penegak hukum di bidang penyelidikan dan
penyidikan (kepolisian dan kejaksaan) dalam menghadapi tuntutan konvensi
pemberantasan korupsi PBB (United Nations Convention Againts Corruption-UNCAC).
Sesudah KPK berdiri, dalam era pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono lahir tim pemburu koruptor yang di komandoi oleh pimpinan Kejaksaan
Agung.
Tim terpadu pemburu koruptor atau lebih dikenal dengan tim pemburu
koruptor yang di bentuk pemerintah melalui Menko politik, hukum dan keamanan
pada 17 Desember 2004. Tidak jelas dasar hukum pembentukan tim pemburu koruptor
ini. Tim beranggotakan sejumlah instansi terkait Menko Politik, Hukum, dan
Keamanan; Kapolri; Jaksa Agung; Departemen Luar Negeri; serta Pusat Pelaporan
Analitis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Tugas tim pemburu koruptor selain memburu para koruptor yang kini
bebas di luar negeri, juga berupaya mengembalikan aset-aset milik negara yang
dibawa mereka kabur ke luar negeri. Ketua tim terpadu adalah Basrief Arief
(Wakil Jaksa Agung) dengan pertimbangan jaksa adalah eksekutor putusan
pengadilan. Dirjen Administrasi Hukum Umum Zulkarnaen Yunus dalam Tim Pemburu
Korupsi bertugas mencari rekening para koruptor, sedangkan direktur jenderal
imigrasi Imam Santoso bertugas mencari keberadaan para koruptor.
Awalnya tim ini hanya memburu terpidana yang 'melarikan diri', akan
tetapi dalam perkembangannya yang menjadi tersangka juga menjadi target. Tim
sudah menetapkan 13 koruptor kakap untuk segera di tangkap. Saat ini tim
gabungan berkonsentrasi memburu enam terpidana korupsi dan tujuh tersangka
korupsi yang kabur dari Indonesia. Sayangnya daftar tersangka korupsi yang
kabur tidak pernah di sebutkan secara jelas, karna alasan confidential. Dari
sisi tempat pelarian, mereka kebanyakan berada di Singapura, ada yang di AS,
Kanada, dan Cina.
TUGAS DAN WEWENANG KPK
KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK adalah lembaga negara
yang melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan mana pun.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK menganut asas;
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan
profesionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan
laporannya kepada presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
Tugas-tugas KPK meliputi kegiatan:
1.
Koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
2.
Supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.
Penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4.
Pencegahan tindak pidana korupsi;
5.
Pemantauan (monitoring)
penyelanggaraan pemerintahan negara.
TUGAS KOORDINASI
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, KPK berwenang:
1.
Mengoordinasikan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
2.
Meletakkan sistem pelaporan dalam
kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.
Meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait;
4.
Melaksanakan dengar pendapat atau
pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
5.
Meminta laporan instansi terkait
mengenai pencegahan tindak pidana.
Umumnya koordinasi oleh KPK dilakukan dengan kepolisian dan
kejaksaan. Namun, laporan tahunan KPK juga menyebutkan instansi lain yang
berwenang dalam pemberantasan korupsi seperti BPK, BPKP, Inspektorat jenderal
di departemen dan nondepartemen.
Bentuk koordinasi ini antara lain adalah diterimanya surat perintah
di mulainya penyidikan (SPDP) dari kepolisian dan kejaksaan.
Tugas Supervisi
Dalam melaksanakan tugas Supervisi, KPK berwenang:
1.
Melakukan pengawasan, penelitian,
atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik;
2.
Mengambil alih penyidikan atau
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang di lakukan oleh
kepolisian atau kejaksaan.
Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian
atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta
alat bukti dan dokumen lain yang di perlukan dalam waktu paling lama 14 hari
kerja sejak tanggal di terimanya permintaan KPK.
Penyerahan dilakukan dengan berita acara penyerahan, dan sejak saat
itu tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan beralih ke KPK. Pengambilan
penyidikan dan penuntutan oleh KPK dilakukan dengan alasan:
1.
Laporan masyarakat mengenai tindak
pidana korupsi tidak di tindaklanjuti;
2.
Penanganan tindak pidana korupsi
berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat di pertanggung jawabkan;
3.
Penanganan tindak pidana korupsi
ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
4.
Penanganan tindak pidana korupsi
mengandung unsur korupsi;
5.
Ada hambatan penanganan tindak
pidana korupsi karna intervensi dari eksekutif, legislatif, atau yudikatif;
6.
Keadaan ini yang menurut
pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, membuat penanganan tindak pidana
korupsi sulit di laksanakan dengan baik dan dapat di pertanggung jawabkan.
Tugas Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan
KPK melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
yang:
1.
Melibatkan aparat penegak hukum,
penyelanggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang di lakukan oleh penegak hukum atau penyelanggara negara;
2.
Mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat; dan /atau
3.
Menyangkut kerugian negara paling
sedikit Rp 1 miliar.
KPK berwenang untuk:
1.
Melakukan penyadapan dan merekam
pembicaraan;
2.
Memerintahkan seseorang pergi ke
luar negeri;
3.
Meminta keterangan kepada bank atau
lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang
sedang di periksa;
4.
Memerintahkan kepada bank atau
lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang di duga hasil dari
korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
5.
Memerintahkan kepada pimpinan atau
atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
6.
Meminta data kekayaan dan data
perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
7.
Menghentikan sementara suatu
transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
pencabutan sementara perizinan, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau
dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang di duga berdasarkan bukti awal yang
cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
8.
Meminta bantuan interpol Indonesia
atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,
dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Tugas Pencegahan
Dalam melakukan tugas pencegahan, KPK berwenang:
1.
Melakukan pendaftaran dan
pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
2.
Menerima laporan dan menetapkan
status gratifikasi;
3.
Menyelenggarakan program pendidikan
antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
4.
Merancang dan mendorong
terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
5.
Melakukan kampanye antikorupsi
kepada masyarakat umum;
6. Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tugas Pemantauan (Monitoring)
Dalam melaksanakan tugas monitor, KPK berwenang:
1.
Melakukan pengkajian terhadap sistem
pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;
2.
Memberi saran kepada pimpinan
lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil
pengkajian sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;
3.
Melaporkan kepada presiden republik
Indonesia, dewan perwakilan rakyat dan badan pemeriksa keuangan, jika saran KPK
mengenai usulan perubahan tersebut tidak di indahkan.
Kewajiban dan Larangan
KPK berkewajiban untuk:
1.
Memberikan perlindungan terhadap
sanksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan
mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;
2.
Memberikan informasi kepada
masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain
yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang di
tanganinya;
3.
Menyusun laporan tahunan dan
menyampaikan kepada presiden republik Indonesia, dewan perwakilan rakyat
republik Indonesia, dan badan pemeriksa keuangan;
4.
Menegakkan sumpah jabatan;
5.
Menjalankan tugas, tanggung jawab,
dan wewenangnya berdasarkan asas-asas tersebut diatas.
Pimpinan, tim penasehat, dan pegawai KPK dilarang:
1.
Mengadakan hubungan langsung atau
tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan
perkara tindak pidana korupsi yang ditangani komisi pemberantasan korupsi
dengan alasan apapun;
2.
Menangani perkara tindak pidana
korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dengan anggota komisi
pemberantasan korupsi yang bersangkutan;
3. Menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
Setiap anggota KPK dan pegawai KPK yang melanggar larangan tersebut
di atas, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Setiap anggota KPK
dan pegawai KPK yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat
dengan menambah satu pertiga (1/3) dari ancaman pidana pokok.
C.
Interaksi
Antarlembaga Dalam Memberantas Korupsi
Tergantung kapan kita melakukan “pemotretan”, terlihat mode
interaksi antar lembaga yang terlibat dalam pemberantasan korupsi, termasuk KPK,
mengalami pasang surutnya.
Kekhawatiran mengenai tidak rampungnya Undang-Undang Tipikor juga menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SBY yang memimpin rapat koordinasi pemberantasan korupsi pada hari Senin, 13 Juli 2009 menegaskan: “Apabila DPR periode 2004-2009 gagal menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Presiden akan mengeluarkan peraturan presiden pengganti undang-undang (Perppu)”. Rapat koordinasi dihadiri pejabat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK. Rapat koordinasi tersebut menjadi perhatian pers karena pemberitaan mengenai rivalitas antarlembaga yang sama-sama berurusan dengan pemberantasan korupsi.
D.
Anti-Corruption
Agencies
Lembaga semacam KPK yang secara generik dikenal sebagai
Anti-Corruption Agencies (ACA), hanya ada di lndonesia. Di banyak negara Agency
ini disebut Commission atau komisi (seperti KPK); Namun, ada juga yang
menyebutnya Biro, seperti di Singapura. atau Badan, seperti di Malaysia.
Sejak 1990, lebih dari 30 negara didunia mempunyai ACA. Tabel 5.3 di bawah menyajikan ACA di beberapa negara Asia, dengan terjemahan nama dalam bahasa Inggris. Nama ACA di Malaysia adalah Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (disingkat SPRM) atau Badan Penceguh Rawah (distngkat BPR).
Tabel
5.3
Anti-Corruption Agencies di Beberapa Negara Asia
Anti Corruption Agencies |
Tahun pendirian |
Singapore Corrupt Practices Investigation Bureau |
1952 |
Malaysia Anti Corruption Agency |
1967 |
Hong Kong Independent Commision Against Corruption |
1974 |
Thailand National Counter Corruption Commission |
1999 |
South Korea Korean Independent Commission Against
Corruption |
2002 |
Indonesia Corruption Eradication Commission |
2003 |
Dari tabel tersebut terlihat bahwa Korea dan Indonesia termasak
negara-negara Asia yang belakangan mempunyai ACA, sedangkan negara-negara
lainnya sudah mempunyai ACA terlebih dulu. Sebenarnya Indonesia sudah mempunyai
bermacam-macam ACA dengan berbagai nama.
Ada dua model ACA. yakni multi-agency model dan single-agency
model. Negara yang menerapkan multi-agency
model memanfaatkan lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah ada (seperti kepolisian,
kejaksaan, pengawas pasar modal, pengawas perbankan/bank sentral, lembaga
ombudsman, dan lain-lain) dan membangun satu lembaga khusus. Indonesia adalah
contoh negara yang menerapkan multi-agency model. Kebanyakan negara Eropa barat dan Amerika
Serikat juga menerapkan multi-agency model.
Afrika Selatan menerapkan multi agency model, di mana mandat untuk
pemberantasan korupsi disebar di antara kepolisian, kejaksaan, badan pemeriksa
keuangan (auditor general, dan lembaga perpajakannya (revenue services), dan
public service commission. Public service anticorruption unit mermpunyai fungsi
koordinasi dan bertanggung jawab untuk mengembangkan dan mengimplementasikan
strategi pemberantasan korupsi di sektor publik.
Hong Kong dan Singapura menganut single-agency model. Hanya ada satu
ACA yang kuat dan tersentralisasi. Singapura mengalami masalah korupsi yang
hebat pada dasawarsa 1950 dan 1960-an, Hong Kong puda dasawarsa 1970-an. Masalah korupsi ini menimbulkan krisis
kepercayaan di kalangan investor dan ancaman bagi politik dalam negeri. Respons
Hong Kong dan Singapara, sama. Mereka nenciptakan lembaga yang bebas dari
kontaminansi unsur-unsur korup, dan lembaga ini diberi kuasa untuk membasmi
korupsi. Singapura mendirikan Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB)
dan Hong Kong, Independent Commission Apainst Corruption (ICAC). CPIB dan ICAC
menjadi tolok ukur atau standar bagi ACA yung terpusat (centralized
anticorruption agencies) dan tangguh. Faktor penting keberhasilan mereka adalah
terpusatnya informasi dan inteligen dalam bidang korupsi dan pemberantasannya,
sehingga masalah yang sering timbul dari koordinasi antarlembaga negara, dapat
ditekan. Dalam banyak tulisan dan seminar internasional, Hong Kong dan
Singapura menjadi contoh suksesnya ACA.
Bagi Indonesia sejak kemerdekaannya, kehadiran lembaga
pemberantasan korupsi merupakan kebutuhan nyata. Kita tidak berbeda dari Singapara. Yang membedakan
kedua negara adalah niat (political will), konsistensi pelaksanaannya, dan
tantangan yang dihadapi. Tantangan yang dihadapi sering kali berkaitan erat
dengun political will dan ancaman nyata terhadap ACA yang mewujudkan
eksistensinya.
Pengalaman Indonesia dan Singapura juga menunjukkan adanya dua pola
kelahiran ACA. Ada ACA yang lahir karena kesadaran bernegara yang sehat. Juga
ada ACA yang lahir karena negara yang bersangkutan meratifikasi United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC). Indonesia melahirkan berbagai ACA dengan
pola pertama, dengan segala pasang-surutnya. KPK merupakan perwujudan dari
ratifikasi UNCAC dan cerminan kelemahan para kepolisian dan kejaksaan.
E.
Lanskap
Audit Pemerintahan
Dalam administrasi negara terdapat istilah “pemeriksaan” yang
digunakan dalam makna audit ekstern (eksternal audit), misalnya dalam kalimat “Badan
Pemeriksa Keuangan adalah satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara di
Indonesia (Tuanakotta, 2010: 165). Sehingga banyak pertanyaan muncul apakah
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jendral (di
Departemen, Kementerian, LPND), Badan Pengawas Daerah (di pemerintah Daerah),
Satuan Pengawas Intern (di BUMN), dan lembaga lain yang melakukan audit intern
(internal audit), tidak melakukan pemeriksaan? Dalam administrasi negara,
lembaga-lembaga tersebut melakukan pengawasan.
Tidak ada istilah khusus untuk “audit” dalam kosa kata administrasi
negara. Hanya ada istilah “pemeriksaan” untuk audit ekstern dan “pengawasan”
untuk audit intern. Landskap audit pemerintahan dapat mencakup BPK maupun
lembaga-lembaga audit intern atau APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah)
(Tuanakotta, 2010:167).
Pada tahun-tahun terakhir baik BPK dan BPKP telah
mendokumenstasikan kebocoran-kebocaran besar serta ketimpangan-ketimpangan
luas. BPK mengklaim bahwa selama tahun 2001-2002 ketimpangan-ketimbangan pada
bagian pemerintahan dan BUMN (termasuk kurangnya bukti pengeluaran) berdampak
atas sekitar USS 60 miliar dana yang dianggarkan. Tapi, kedua badan tersebut
telah mengeluh bahwa pada umumnya laporan-laporan mereka diabaikan, tanpa ada
tindakan terhadap pejabat-pejabat yang terlibat.
Beberapa faktor melemahnya proses audit. Pertama, BPK menghadapi
kendala-kendala sumber daya yang parah. Anggaran yang disediakan oleh parlemen
terbatas, dan stafnya menurut laporan kurang memenuhi kualifikasi, dengan
kurang dari 10 persen dari 2600 pegawainya merupakan akuntan berkualifikasi.
Sebenarnya jumlah auditor tidak bisa dikatakan sebagai penyebab rendahnya
kemampuan mereka melaksanakan audit. Sebagai perbandingan, BPKP mempunyai lebih
8000 pegawai, dengan kelompok ini cukup besar yang mempunyai kualifikasi lebih
baik. Ketimpangan ini mencerminkan kebijakan yang disengaja di zaman orde baru
untuk memusatkan perhatian pada badan audit internal. Meskipun BPK adalah
lembaga tertinggi yang khusus diakui dalam UUD Indonesia. BPK masih harus meminta
anggaran kepada Departemen Keuangan, dan kebijakan-kebijakan kepegawaiannya
ditetapkan oleh Kantor Mentri Negara Pendahyagunaan Aparatur Negara.
Kedua tidak adanya undang-undang audit negara modern yang
menyebabkan banyaknya kerancauan di balik mana organisasi-organisasi yang ingin
menghindari audit bisa bersembunyi. Banyak organisasi, terutama militer, telah
menolak untuk diaudit BPK. Ketiga, parlemen, Departemen Keuangan, dan
departemen-departemen teknis tidak mempunyai proses yang digariskan secara jelas
untuk menindaklanjuti temuan-temuan audit dan mengambil alih langkah perbaikan,
dan sebagai akibatnya tidak terjadi tindak lanjut sistematis. Keempat, seperti
dicatat, BPK tidak berwenang mengumumkan temuan-temuannya. Jika badan tersebut
mengungkapkan korupsi, ia harus mengandalkan Kejaksaan Agung yang korup dan
tidak efisien dan badan-badan pengadilan untuk mengusut dan mengadili kasus
tersebut.
Terdapat duplikasi fungsi antara BPK dan BPKP serta para inspektur
jendral. Buku Putih Departemen Keuangan (2002) menyatakan bahwa BPK dengan
berrgulirnya waktu harus menjadi satu-satunya badan audit eksternal, yang
menyerap BPKP, walaupun pemerintahan bisa mempertahankan unit pemeriksaan
keuangan kecil. Personalia BPKP juga dapat digunakan untuk memperkuat manajemen
keuangan pada departemen-departemen teknis.
BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) lahir pada tahun 1936,
berdasarkan bestluit (Surat Keputusan) Nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936. Lahir
sebagai Regering Accountantsdies (Djawatan Akuntan Negara atau ADN). Dinas ini
meneliti pembukuan perusahaan negara dan jawatan tertentu. Dalam tahun 1959
sampai 1966 DAN mengalami perubahan struktur dan berganti nama menjadi
Direktorat Jendral Pengawasan Keuangan Negara disingkat menjadi DJPKN.
Perubahan struktur dan penataan tersebut terus berlangsung antara tahun 1968
sampai 1971. Terbitnya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 Tanggal 30 Mei
1983, DJKPN berubah menjadi BPKP, sebuah Lembaga Pemerintahan Non-Departemen
(LPND) yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Keppres tersebut menandakan bahwa BPKP secara resmi melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembagunan. BPKP memiliki 25
kantor perwakilan di provinsi berikut ini:
1. NAD |
11. Jawa Barat |
21. Sulawesi Tengah |
|
2. Sumatra Utara |
12. Jawa Tengah |
22. Sulawesi Utara |
|
3. Sumatra Barat |
13. DIY |
23. Sulawesi Tenggara |
|
4. Riau |
14. Jawa Timur |
24. Maluku |
|
5. Jambi |
15. Kalimatan Timur |
25. Irian Jaya |
|
6. Sumatra Selatan |
16. Kalimatan Barat |
|
|
7. Bengkulu |
17. Kalimatan Selatan |
|
|
8. Lampung |
18. Bali |
|
|
9. Daerah Khusus Istimewa
Jakarata I |
19. Nusa Tenggara Timur |
|
|
10. daerah Khusus Istimewa Jakarta II |
20. Sulawesi Selatan |
|
BPKP memberikan layanan kepada instansi pemerintah baik
Departemen/LPND maupun Pemerintah Daerah. Cakupan layanan yang diberikn oleh
BPKP adalah (Tuanakotta, 2010:169):
1.
Audit
atas berbagai kegiatan unit kerja di lingkungan departmen/LPND maupun
pemerintah daerah
2.
Policy
evaluation
3.
Optimalisasi
penerimaan negara.
4.
Asistensi
penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah
5.
Asistensi
penerapan good corporate governance
6.
Risk
management based audit
7.
Audit
investigatif atas kasus berindikasi korupsi.
Berikut ini adalah landskap audit
pemerintahan yaitu (Tuanakotta, 2010:172):
Dimensi |
BPK |
BPKP |
APIP Lainnya |
Eksternal/Internal |
Eksternal auditor |
Internal Auditor |
Internal Auditor |
Dasar Hukum |
UUD dan UU |
Keppres |
UU |
Terpusat/Terbesar |
Terpusat |
Terpusat |
Tersebar |
Perwakilan |
Semua (33) Provinsi |
25 Perwakilan |
Bagian dari struktur lembaga yang bersangkutan |
Lapor Kepada |
DPR |
Presiden |
Pemimpin Lembaga yang bersangkutan |
Dalam membandingkan ketiga kelompok auditor tersebut dapat ditambah
dengan jumlah dan mutu auditor, kemampuan (berasal dari lulusan perguruan
tinggi STAN atau diluar STAN bisa swasta maupun negeri), persepsi audit atau
objek yang diperiksa (misalnya ditakuti, disegani, dihormati atau tidak
diperdulikan), perpindahan atau migrasi (misalnya apakah banyak atau sedikit
perpindahan SDM dari BPKP ke BPK dan sebaliknya).
Dimensi tersbut merupakan indikasi atau proxy mengenai kekuatan
atau kelemahan lembaga-lembaga audit tersebut. Dimensi penting disini adalah
apakah lembaga-lembaga tersebut difokuskan kepada upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi secara umum atau penyimpangan yang dikenal sebagi waste,
fraud, dan abuse.
Dari berbagai kajian lembaga internasional, seminar dan diskusi
terdapat tiga pendapat mengenai pembahruan landskap audit pemerintahan yakni
(Tuanakotta, 2010:173):
1.
Bubarkan
BPKP dan sebarkan SDM-nya ke Inspektorat Jendral dan Bawasda. Argumen untuk
pendapat ini adalah bahwa korupsi terjadi di lembaga negara yang harus diawasi
dari dekat (di tingkat lembaga) dengan memahami sepenuhnya tentang kondisi
lembaga tersebut dan kekhasannya (misalnya Kekhasan Departemen Agama dan
lainnya) byang melahirkan pola waste, fraud dan abuse yang khas pula.
2.
Manfaatkan
BPKP yang melakukan fungsi Inspektorat Jendral dan Bawasda. Argumen untuk
pendapat ini adalah bahwa BPIP jauh lebih kuat dan independen terhadap lembaga
terhadap lembaga yang diawasinya.
3.
BPKP
sebagai think tank saja, tidak usah besar namun efektif dalam memacu
Inspektorat Jendral dan Bawasda.
LSM dan Pers Sebagai Kelompok Penekan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Governmental Organisation
(NGO) bersama pers bukanlah bagian dari tatanan kelembagaan pemerintah. Namun,
keberadaanya memainkan peran penting dalam proses check and balance sebagai
kelompok penekan atau pressure group (Tuanakotta, 2010:173).
LSM dan Pers menyuarakan rasa ketidakadilan di dalam masyarakat,
misalnya adalah kasus Prita Mulyasari yang di dalam e-mail nya mengeluhkan
perlakuan rumah sakit Omni Internasional (Tangerang, Banten). Kasus Prita
Mulyasari hanyalah satu diantara banyak kasus di mana LSM dan Pers memainkan
peran sebagai kelompok penekan menentang ketidakadilan oleh aparat Kepolisian,
Kejaksaan, Kehakiman sampa Mahkamah Agung.
Pressure Group sangat lazim dalam kehidupan demokrasi. Asas trias
politica yang memisahkan kekuasaan, dilahirkan dari pemikiran check and
balance satu kekuasaan mengawasi dan diawasi oleh kekuasaan lainnya.
Pers di Indonesia memainkan peranan penting dalam menyoroti tingkah
laku para pejabat, dalam menyampaikan informasi (seperti temuan-temuan BPK dan
BPKP) secara sederhana dan cepat dan dalam menindaklanjuti janji-janji penjabat
lembaga negara yang diucapkan ketika kampaye pemilihan umum. Lembaga-lembaga
swadaya masyarakat (LSM) seperti Masyarakat Transparensi Indonesia dan
Indonesia Corruption Watch juga menjadi pressure group dalam upaya
pemberantasan TPK.
F.
Pengadilan
Tipikor
Dari bebeapa butir yang diajukan dalam permohonan judicial
review, hanya satu yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni
pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-undang Nomer 30
Tahun 2002. Mahkamah Konstitusi memutuskan Pengadilan Tipikor harus dibentuk
dengan undang-undang tersendiri sebelum akhir Desember 2009. Ketentuan Pasal 53
menyatakan bahwa: Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana korupsi yang
penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Hertanto, 2014: 2).
Pada tanggal 29 Desember 2009, Undang-Undang Nomor 46 tahun 20009
tentang Pengadilan Tindakan Korupsi diundangkan. Pengadilan Tipikor merupakan
pengadilan khusus yang berada di Peradilan Umum. Pengadilan Tipikor
berkedudukan di setiap ibukota kabupaten atau kota di Indonesia yang jumlahnya
hampir 500 (Tuanakotta, 2010:182).
Dari pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama lima tahun
terakhir, komitmen pengadilan umum justru dipertanyakan. Banyak terdakwa kasus
korupsi yang diadili pengadilan umum, yang semuanya terdiri atas hakim karier,
justru dibebaskan. Ini berbeda dari Pengadilan Tipikor, yang memadukan hakim
karier dan hakim ad hoc, yang selama ini tidak pernah membebaskan terdakwa
korupsi dari hukuman. Pentauan ICW di sejumlah pengadilan umum selama lima
tahun terakhir sejak 2005, menunjukkan jumlah tedakwa kasus korupsi yang bebas
di pengadilan umum bukan berkurang, tetapi malah meningkat. Dan terdakwa yang
dihukum, hukumannya cenderung ringan.
Dalam semester 1 tahun 2009, dari 199 perkara dan 222 terdakwa
korupsi yang diperiksa dan diputus di pegadilan umum, mulai dari pengadilan
negeri, pengadilan tinggi hingga Mahkamah Agung yang terpantau ICW, 153
terdakwa divonis bebas (Tuanakotta, 2010:182). Hanya 69 terdakwa yang bersalah;
banyak terdakwa yang divonis di bawah satu tahun penjara. Dari pengamatan ICW,
ada lima pengadilan yang paling banyak membebaskan terdakwa korupsi yakni
Pengadilan Negeri Makasar (38 terdakwa), Mahkamah Agung (13 terdakwa),
Pengadilan Negeri Gresik (9 terdakwa), Pengadilan Negeri Manado (8 terdakwa),
Pengadilan Negeri Solo (8 terdakwa).
Di Pengadilan Tipikor keadaannya berbeda. Pada semester 1-2009 dari 29 perkara dengan 32 terdakwa yang diperiksa dan diputus, tidak ada satu pun yang divonis bebas. Semua terdakwa divonis bersalah. Pengadilan Tipikor juga tak pernah menjatuhkan vonis percobaan atau dibawah satu tahun penjara. Rata-rata divonis di atas empat tahun.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tatanan kelembagaan penyelenggara negara telah di atur di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dengan menganut
asas trias politica yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan
ditambah satu lembaga pemeriksa yang bebas dan independen. Dalam hal
pemberantasan tindak pidana korupsi, Indonesia memiliki suatu Anti-Corruption
Agency (ACA) yang dinamakan Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPK
memiliki tugas dan fungsi yang meliputi koordinasi, supervisi, penyelidikan,
pencegahan dan pemantauan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam memberantas
korupsi, KPK berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya seperti kepolisan, kejaksaan,
BPK, BPKP, inspektorat jenderal, inspektorat daerah dan lembaga-lembaga terkait
lainnya.
Landskap audit pemerintahan dapat mencakup BPK, BPKP maupun lembaga-lembaga audit intern atau APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Governmental Organisation (NGO) bersama pers bukanlah bagian dari tatanan kelembagaan pemerintah. Namun, keberadaanya memainkan peran penting dalam proses check and balance sebagai kelompok penekan atau pressure group. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Salemba Empat: Jakarta.
Unduh file lengkap Tata Kelembagaan Akuntansi Forensik di Academia.edu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar