KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan
taufiknya kepada kita semua, terutama kepada kami yang telah selesai
menyelesaikan penulisan makalah ulumul hadits ini. Karena berkat rahmat beserta
karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun masih banyak
kekurangan di dalam makalah kami ini.
Kemudian
shalawat beserta salam kita panjatkan kepada Allah SWT, semoga selalu tercurah
kepada pemimpin umat sedunia, yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa
petunjuk yang benar dan mengajarkannya kepada sahabat-sahabatnya, dan pada
akhirnya sampailah kepada kita umat akhir zaman ini, semoga Allah tetapkan hati
kita agar selalu berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang telah diajarkan
oleh Rasulullah SAW tersebut sampai hari kiamat, amiin.
Makalah
ini kami buat atas tugas yang di berikan oleh dosen mata kuliah Ilmu Hadis, yaitu
M. Khaedir, S.TH.I., M.Ag.. Alhamdulillah makalah yang berjudul “Periwayatan
Hadis” telah selesai kami kerjakan, walaupun sebenarnya masih banyak kekurangan
dan kecacatannya, mungkin itu karena kelalaian kami maupun karena ketidaktahuan
kami dalam suatu masalah. Dalam pembuatan makalah ini banyak sekali tantangan
yang kami hadapi, diantaranya adalah sulitnya memahami pembahasan mengenai
periwayatan hadis tersebut, namun berkat izin dari Allah SWT kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya
kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini. Kritik, saran, masukan, dan sanggahan
sangat kami harapkan bagi siapapun yang membaca makalah ini, agar makalah ini
lebih baik dan lebih sempurna lagi untuk kedepannya.
Makassar,
23 November 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
1.1 Latar belakang................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 3
2.1 Pengertian
Periwayatan Hadis......................................................................... 3
2.2 .................................................................... Unsur-Unsur
Periwayatan Hadis 3
2.3 Cara-Cara
Periwayatan Hadis........................................................................ 9
2.4 Macam-Macam
Periwayatan Hadis................................................................ 13
2.5 Bentuk-Bentuk Hadist...................................................................................... 15
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 17
3.1 Kesimpulan........................................................................................................ 17
3.2 Saran.................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hadits
adalah pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an. Segala sesuatu yang tidak disebutkan
atau dijelaskan dalam Al-Qur’an baik dari segi ketentuan hukumnya, cara
mengamalkannya, dan petunjuk dalilnya, maka semua itu dijelaskan dalam hadits
Rasulullah SAW. Intinya, hadits adalah penjelas dari Al-Qur’an. Al-Qur’an dan
hadits adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, dapat
dipahami betapa pentingnya hadits sebagai petunjuk untuk kehidupan umat Islam.
Dapat
diketahui pula bahwa sejarah pencatatan dan penghimpunan hadist Nabi tidaklah
sama dengan sejarah pencatatan dalam
penghimpunan Al-Qur’an, pada zaman Nabi, tidaklah seluruh hadist Nabi dicatat
oleh para sahabat nabi, hal ini dikarenakan karena Nabi sendiri pernah secara
umum melarang para sahabat menulis hadist beliau, hanya orang-orang tertentu
saja dari kalangan sahabat yang diizikan oleh nabi melakukan pencatatan hadist.
Setelah
itu tahap selanjutnya yaitu periwayatan hadist, sejarah menyatakan bahwa pada
zaman Abu Bakar dan Khalifah Umar Bin Khattab periwayatan hadist Nabi
berjalan dengan sangat hati-hati, dikarenakan pada saat itu bagi kalangan
sahabat yang ingin menyampaikan riwayat hadist diminta untuk menghadirkan saksi
dan bahkan sampai melakukan sanksi, dengan demikian kegiatan periwayatan hadist
menjadi sangat terbatas pada waktu itu, namun seiring berjalannya waktu di
tengah-tengah roda pemerintahan diresmikanlah penghimpunan hadist secara resmi,
dan karena setelah kejadian ini bermunculanlah banyak periwayat dikalangan
sahabat nabi maupun para sahabat khalifah sendiri.
Seiring
berkembangnya zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin memalsukan hadits.
Dengan cara membuat hadits-hadits palsu, peristiwa awal mula
banyaknya terjadi pemalsuan hadist yaitu pada masa kepemimpinan Khalifah Ali
Bin Abi Thalib. Menimbang betapa pentingnya hadits untuk kehidupan umat islam
dan banyaknya hadits palsu yang sudah beredar, maka sebagai umat Islam harus
mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi keaslian hadits dengan cara
mengetahui transformasi hadits. Transformasi hadits yang dimaksud yakni Periwayatan
Hadits atau jalannya hadits dari perawi sampai pada Rasulullah. Ini
adalah cara untuk mengetahui keaslian hadits dan kedudukan hadits.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya, antara lain:
1. Apa
pengertian dari periwayatan hadist?
2. Apa-apa
saja ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist secara makna?
3. Bagaimakah
proses atau cara-cara serta macam periwayatan hadist tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini ini adalah
1. Mengetahui
pengertian dari periwayatan hadist.
2. Mengetahui
ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist secara makna
3.
Mengetahui proses atau cara-cara
serta macam periwayatan hadist.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun
manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
1. Untuk
mengetahui pengertian dari periwayatan hadist.
2.
Untuk mengetahui bagaimana
ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist secara makna.
3.
Untuk mengetahui bagaimana proses
atau cara-cara serta macam periwayatan hadist.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Periwayatan Hadist
Hadist
Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al-
Bukhori dan shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui
proses kegiatan yang dinamai dengan riwayat al-hadist atau al-riwayat, yang
dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau
periwayatan. Sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan
riwayat.
Menurut
istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau periwayatan hadis
ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu
kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang
tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut apabila menghilangkan kata-kata atau
menambahkan kata-katanya sendiri, sehingga tereproduksilah hadist-hadist yang
hanya sesuai dengan pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis tersebut.
Orang
yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan
hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang
telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis
yang telah diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu
dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak
dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan
hadis”.
Dan
adapula pendapat lain tentang pengertian periwayatan hadist namun mempunyai
makna yang sama, yaitu adapun yang dimaksud periwayatan hadits adalah
proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan
setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin
(tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan
menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.
2.2 Unsur-Unsur Periwayatan Hadis
Beberapa
istilah yang digunakan oleh ulama dalam periwayatan hadis:
1)
Rawi
Rawi, yaitu
orang yang meriwayatkan hadis. Antara rawi dan sanad orang – orangnya sama,
yaitu – itu saja. Misalnya pada contoh sanad, yaitu sanad terakhir Abu Hurairah
adalah perawi hadis yang pertama, begitu seterusnya hingga kepada Imam Bukhari.
Sedangkan Imam Bukhari sendiri adalah perawi hadis yang terakhir. Untuk
menyeleksi
hadis yang sekian banyaknya dan pada
waktu Nabi Muhammad saw masih hidup tidak banyak sahabat yang menulis hadis,
dan penyampaian hadis Nabi SAW masih terbatas dari mulut ke mulut berdasarkan
hafalan dan ingatan saja sampai pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis tahun 99
– 101 H.
Kata
perawi atau al-rawi dalam bahasa Arab berasal dari kata riwayat yang berarti
memindahkan atau menukilkan, yakni memindahkan suatu berita dari seseorang
kepada orang lain. Dalam
istilah hadis, al-rawi adalah orang yang meriwayatkan hadis dari seorang guru
kepada orang lain yang tercantum dalam buku hadis. Jadi, nama-nama yang
terdapat dalam sanad disebut rawi, seperti:
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال
حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصارى قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي
أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر…
Sebenarnya
antara rawi dan sanad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan karena
sanad hadis pada setiap generasi terdiri dari beberapa perawi. Singkatnya,
sanad itu lebih menekankan pada mata
rantai/silsilah, sedangkan rawi adalah orang yang terdapat dalam silsilah
tersebut.
Maka
untuk menjaga keaslihan hadis diperlukan Perawi – Perawi hadis yang memenuhi
syarat sebagai berikut:
1.
Beragama
Islam, laki-laki atau perempuan, orang merdeka atau hamba (pelayan).
2.
Aqil
baligh, artinya: berakal sehat dan cukup umur, maka setiap orang yang mukallaf
atau sudah dewasa, dianggap cakap berbuat atau melakukan perbuatan hukum, atau
bertanggung jawab.
3.
Bersifat
adil, artinya: memiliki sifat-sifat yang baik, jujur, mengutamakan kebenaran
dan tidak terlibat pada sifat-sifat tercela.
4.
Perawi
itu harus seorang yang dhabith, Dhabith ini mempunyai dua pengertian yakni:
a.
Dhabith
dalam arti bahwa perawi hadis harus kuat hafalan serta daya ingatnya dan bukan
orang yang pelupa.
b.
Dabit
dalam arti bahwa perawi hadis itu dapat menjaga atau memelihara kitab hadis
yang diterima dari gurunya sebaik-baiknya, sehingga tidak mungkin ada orang
mengadakan perubahan didalamnya.
Adapun para sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadis yaitu :
-
Abu
Hurairah, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 5374 buah hadis.
-
Abdullah
bin Umar, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2630 buah hadis.
-
Anas
bin Malik, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2286 buah hadis.
-
Aisyah
Ummul Mukminin, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2210 buah hadis.
-
Abdullah
bin Abbas, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1660 buah hadis.
-
Jabir
bin Abdullah, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1540 buah hadis.
-
Abu
Sa’id Al Khudri, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1170 buah hadis.
Selain
tujuh sahabat tersebut masih banyak yang meriwayatkan hadis tetapi tidak ada
yang meriwayatkan hadis lebih dari seribu hadis. Para sahabat Nabi saw ini
menjadi perawi hadis pertama dan sanad terakhir dan mereka inilah yang pada
umumnya disebut sanad dalam hadis. Kemudian yang disebut perawi hadis terakhir
adalah mereka yang membukukan hadis dalam kitab-kitabnya seperti, Muwatha’nya
Imam Malik, Al Kutub Al Sittah, setelah itu sangat sulit untuk menemukan orang
yang dapat dikatagorikan sebagai perawi hadis, atau mungkin tidak ada perawi
yang muktabar.
Ø Perbedaan
Mukharrij Dan Rawi
Al-Mukharrij berasal dari kata Kharraja yang artinya
mengeluarkan. Dalam terminologi ilmu hadis al-Mukharrij didefinisikan sebagai
orang yang meriwayatkan hadis dengan menyebutkan urutan rangkaian sanad dalam
kitab hadis yang dia bukukan. Seperti Imam Malik dalam kitab al-Muwattho, Imam
Bukhariy, Imam Muslim dalam kedua kitab Shohihnya dan lain-lainya. Sehingga
sering kita baca dalam kitab-kitab hadis; Akhrajahul Bukhariy Fis Shahih,
Akhrajahu Muslim Fis Shahih, Akhrojahu Malik Fil Muwattha, Akhrajahu Ahmad Fi
Musnadihi, dan sebagainya. Atau boleh juga kita sebut: Rowahul Bukhariy, Rowahu
Muslim, Rowahu Malik, Rowahu Ahmad. Lantaran setiap Mukharrij (pentakhrij
hadis) adalah orang yang meriwayatkan. Tetapi tidak semua Rowi (periwayat
hadis) disebut Mukharrij.
Disebutkan dalam satu kaidah bahwa “Setiap mukharrij itu
dipastikan sebagai periwayat hadis, tetapi tidak semua periwayat hadis itu
seorang mukharrij”. Kesimpulannya, mukharrij adalah periwayat hadis yang
menginventarisir riwayat-riwayatnya dalam satu kitab, sedangkan perawi hadis
sekedar meriwayatkan saja tanpa membukukan riwayatnya."
2)
Sanad
Sanad yaitu sandaran atau jalan yang
menyampaikan kepada matan hadith. Sanad inilah orang yang mengkabarkan hadis
dari Rasulullah saw kepada orang yang berikutnya sampai kepada orang yang
menulis atau mengeluarkan hadis . Secara bahasa, sanad berasal dari kata سند yang
berarti انضمام الشيئ الى الشيئ (penggabungan sesuatu ke sesuatu yang lain), karena di dalamnya tersusun banyak
nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga berarti المعتمد
(pegangan). Dinamakan demikian karena hadis merupakan sesuatu yang menjadi
sandaran dan pegangan.
Sementara termenologi, sanad adalah
jalan yang dapat menghubungkan matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw
sebagaimana juga telah dijelaskan diatas . Dengan kata lain, sanad adalah
rentetan perawi-perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.
Contohnya pada kitab
Shohih Bukhari sebagai berikut :
حدثناابن سلام قال اخبرنامحمدبن فضيل
قال حدثنا يحي بن سعيد عن ابى سلمة عن ابى هريرة قال : قال رسول الله ص م : من صام
رمضان ايمانا واحتساباغفر له ما تقدم من ذنبه
Dari
hadis diatas sanadnya adalah orang – orang yang menyampaikan matan hadis sampai
pada Imam Bukhori, sehingga orang yang menyampaikan kepada imam bukhari adalah
sanad pertama dan sanad terakhir adalah Abu Hurairah. Sedangkan Imam Bukhari
adalah orang yang mengeluarkan hadis atau yang menulis hadis dalam kitabnya.
Para
ahli hadis memberi penilaian terhadap shohih atau tidaknya dapat berdasarkan
pada sanad tersebut. Jika terdapat salah satu sanad yang kurang memenuhi syarat
maka dapat mengurangi atau bahkan dapat meragukan kesohihan hadis.
Berikut
adalah contoh sanad lainnya :
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال
حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي
أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر
قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول
“Al-Humaidi
ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata Sufyan telah
mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya ibn Sa’id al-Ansari telah
menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn Ibrahim al-Taimi telah
memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn Waqqas al-Laisi
berkata “saya mendengar Umar ibn al-Khattab ra berkata di atas mimbar “Saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda…
3)
Matan
Yakni sabda Nabi atau isi dari hadith
tersebut. Matan ini adalah inti dari apa yang dimaksud oleh hadis, misalnya:
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه الشيخان عن ابى موسى)
Matan, berasal dari bahasa Arab yang
terdiri dari huruf م- ت- نMatan memiliki makna
“punggung jalan” atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas. Apabila dirangkai menjadi kalimat matn
al-hads maka defenisinya adalah:
ألفاظ
الحديث التى تتقوم بها المعانى
“Kata-kata hadis yang dengannya
terbentuk makna-makna”.
Dapat
juga diartikan sebagai ما ينتهى إليه السند من الكل (Apa yang berhenti dari sanad berupa
perkataan). Adapun matan hadis itu terdiri dari dua elemen yaitu teks atau
lafal dan makna (konsep), sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu
matan hadis yang sahih yaitu terhindar dari sya>z| dan ’illat.
Contohnya:
إنما
الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة
ينكحها فهجرته إلى ما هاجر…
“Amal-amal perbuatan itu hanya
tergantung niatnya dan setipa orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.
Barangsiapa yang hijrah karena untuk mendapatkan dunia atau karena perempuan
yang akan dinikahinya maka hijrahnya (akan mendapatkan) sesuai dengan tujuan
hijrahnya…
Dalamnya tersusun banyak nama yang
tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga berarti المعتمد (pegangan).
Dinamakan demikian karena hadis merupakan sesuatu yang menjadi sandaran dan
pegangan.
Sementara terminologi, sanad adalah
jalan yang dapat menghubungkan matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw
sebagaimana juga telah dijelaskan diatas . Dengan kata lain, sanad adalah
rentetan perawi-perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.
Contohnya
pada kitab Shohih Bukhari sebagai berikut:
حدثناابن سلام قال اخبرنامحمدبن فضيل قال حدثنا يحي بن سعيد عن
ابى سلمة عن ابى هريرة قال : قال رسول الله ص م : من صام رمضان ايمانا واحتساباغفر
له ما تقدم من ذنبه
Dari
hadis diatas sanadnya adalah orang – orang yang menyampaikan matan hadis sampai
pada Imam Bukhori, sehingga orang yang menyampaikan kepada imam bukhari adalah
sanad pertama dan sanad terakhir adalah Abu Hurairah. Sedangkan Imam Bukhari
adalah orang yang mengeluarkan hadis atau yang menulis hadis dalam kitabnya.
Para
ahli hadis memberi penilaian terhadap shohih atau tidaknya dapat berdasarkan
pada sanad tersebut. Jika terdapat salah satu sanad yang kurang memenuhi syarat
maka dapat mengurangi atau bahkan dapat meragukan kesohihan hadis.
Berikut adalah contoh sanad lainnya
:
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا
يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص
الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى
الله عليه و سلم يقول
“Al-Humaidi
ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata Sufyan telah
mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya ibn Sa’id al-Ansari telah
menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn Ibrahim al-Taimi telah
memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn Waqqas al-Laisi
berkata “Saya mendengar Umar ibn al-Khattab r.a. berkata di atas mimbar, “Saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda…”
4)
Shigad
Isnad
Dalam
ilmu hadis, Shigat Isnad diartikan dengan lafal-lafal yang digunakan oleh para
periwayat hadis pada saat menyampaikan atau menerima hadis. Shigat isnad
terdiri atas delapan tingkatan atau martabat yang berimplikasi bahwa martabat
pertama lebih tinggi dari martabat kedua, ketiga, dan seterusnya sampai pada
martabat ke delapan. Sigat isnad tersebut dapat dijadikan ketersambungan sanad
hadis dan dapat memudahkan untuk menentukan kualitas hadis.
2.3 Cara-Cara Periwayatan Hadis
Ada
delapan macam kaifiyah tahammul wa al-ada’ atau sistem dan cara penerimaan dan
penyampaian hadis, yaitu sebagai berikut:
1)
As-Sama’ (السَّمَاعُ)
Maksud periwayatan hadits
dengan cara as-sama’ adalah seorang rawi menerima langsung periwayatan
gurunya dengan cara mendengarkan bacaan dari hafalan atau tulisan sang guru.
Dalam periwayatan bentuk as-sama’, biasanya seorang guru membacakan
haditsnya, sedangkan murid mendengarkan dengan seksama untuk kemudian menulis
apa yang telah ia dengar, atau hanya mendengar saja untuk kemudian
menghafalnya.
Di dalam periwayatan yang
berbentuk as-sama’, disyaratkan antara guru dan murid terjadi pertemuan.
Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan jumhur
ulama’, periwayatan hadits dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahkan
antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatn bentuk as-sama’.
Syaratnya, yang di dengar sang murid benar-benar suara gurunya.
Periwayatan hadits dari
belakang tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah. Ketika meriwayatkan hadits,
Aisyah berada di belakang tabir,kemudian para sahabat berpedoman pada suara
tersebut dalam meriwayatkan hadits-hadits Aisyah.
Menurut jumhur ulama’, as-sama’
merupakan periwayatan yang paling tinggi dalam periwayatan hadits. Jika melihat
pada masa Nabi, cara as-sama’ adalah cara yang sering dilakukan. Para sahabat
mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Nabi SAW, kemudian para sahabat
saling mencocokkan hadits yang telah didapat dari Nabi SAW tersebut.
Kata atau lafal yang
digunakan dalam penyampaian hadits dengan cara as-sama’ diantaranya adalah :
سَمِعْتُ‘ ‘aku telah mendengar’ dan حَدَّثَنِي ‘telah menceritakan kepadaku’. Namun, jika yang meriwayatkan
itu banyak, maka lafalnya adalah سَمِعْنَا ‘kami telah mendengar’ dan حَدَّثَنَا ‘telah menceritakan kepada kami. Kata-kata tersebut menunjukkan
bahwa rawi mendengarkan hadits dari sang guru secara
bersama-sama.
2)
Al-Qira’ah (القِرَاءَةُ)
Al-Qira’ah adalah
periwayatan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada sang
guru. Periwayatan tersebut biasanya disebut dengan istilah Al-Aradl.
Disebut Al-‘Aradl, karena seorang rawi menyuguhkan bacaan haditsnya
kepada sang guru, dan guru mendengarkan bacaan tersebut. Bisa jadi bacaan tersebut berasal dari
hafalan atau buku perawi, dan sang guru mengikuti bacaan tersebut dengan
hafalannya, memegang kitabnya sendiri, atau memegang kitab orang lain yang
tsiqqah. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah.
Ada sebagian ulama’ yang menilai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah
setingkat dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’. Tetapi,
pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah
tingkatannya lebih rendah dibandingkan dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’.
Ketika menyampaikan
periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah, perawi biasanya menggunakan
kalimat: قَرَأْتُ فُلاَنًا ‘aku
telah membaca kepada si fulan’ atau قَرَأْتُ عَلَيْهِ ‘aku
telah membaca dihadapannya’ atau قُرِئَ عَلَى فُلاَنٍ وَاَنَا أَسْمَعُ ‘dibacakan oleh seseorang dihadapannya dan aku
mendengarkannya’. Namun, yang umum dipakai menurut ahl hadits adalah lafal أَخْبَرَنَا ‘telah mengabarkan kepada kami’.
3)
Al-ijazah(الإِجَازَةُ)
Maksud periwayatan hadits
dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan sesuatu tertentu kepada
orang tertentu. Biasanya izin ini di berikan oleh seorang guru kepada muridnya
untuk meriwayatkan suatu hadits dalam bentuk ucapan atau tulisan. Lafal ijazah
yang digunakan oleh sang guru kepada muridnya adalah ”aku izinkan kepadamu
untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Adapun macam-macam
ijazah,yaitu:
a.
Ijazah fi
mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu
ijazah yang berarti pemberian izin untuk meriwayatkan suatu hadits tertentu
kepada orang tertentu. Misalnya, seorang guru berkata, ”Aku ijazah-kan
kepadamu Shahih Muslim.” Menurut pandangan ulama’, derajat ijazah
ini memiliki tingkatan paling tinggi dibandingkan dengan ijazah lainnya.
b.
Ijazah fi
gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu
ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru kepada seseorang dengan tanpa
menentukan apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, guru meng-ijazah-kan
dengan lafal “Aku ijazah-kan kepadamu untuk meriwayatkan semua
riwayatku”.
c.
Ijazah
gairi mu’ayyanin bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru kepada siapa
saja (tanpa ditentukan orangnya), dan tidak ditentukan pula apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya,
meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan semua riwayatku
kepada semua orang pada zamanku.”
d.
Syaih
meng-ijazah-kan sesuatu yang ia terima dengan jalan ijazah kepada orang
yang tertentu. Misalnya, ”Aku ijazahkan kepadamu apa-apa yang di-ijazahkan
kepadaku”.
Kata-kata yang dipakai
dalam menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah adalah :
أَجَازَلِفُلاَنٍ ‘ia telah memberikan ijazah kepada si fulan’, حَدَّثَنَاإِجَازَةً ‘ia telah memberikan hadits dengan ijazah kepada
kami’, أخْبَرَنَاإجَازَةً
‘telah mengabarkan kepada kami dengan cara ijazah’, atau أنْبَأنَاإجَازَةً ‘ia telah memberikan kepada kami dengan ijazah’
4)
Al-Munawalah
(المُنَاوَلَةُ)
Munawalah artinya memberikan,
menyerahkan. Yakni:
”Guru memberikan kitabnya kepada murid”, atau “Ia menyuruh murid menyalin
kitab itu”, atau “Ia pinjamkan
kitabnya itu”, atau “Seorang
rawi menyerahkan satu kitab kepada gurunya; sesudah guru memperhatikannya benar
benar, lalu ia kembalikannya kepada rawi tadi”.
Al-Munawalah ada dua macam, yaitu:
a.
Al-munawalah yang disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan
kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya, “Riwayatkanlah kitab ini
dari saya,” Kemudian kitab tersebut dibiarkan untuk dimilikinya atau
dipinjamkan agar disalin.
b.
Al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Misalnya, seorang guru
memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan, “Ini adalah
riwayatku,” tanpa diikuti dengan perintah meriwayatkannya.
Menurut Ibnu Salah dan
An-Nawawi, periwayatan dengan cara ini dianggap tidak sah. Para ahli hadits
mencela orang-orang yang membolehkan riwayat dengan al-munawalah tanpa
dibarengi ijazah.
Dalam redaksi hadits yang
diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata seperti: نَاوَلَنِيْ وَأجَازَنِي ‘ia telah memberikan munawalah dan ijazah
kepadaku’, حَدَّثَنَامُنَاوَلَةًوَإجَازَةً ‘ia
telah menceritakan kepada kami dengan munawalah dan ijazah’, atau
أخْبَرَنَامُنَاوَلَةً ‘ia
telah mengabarkan kepada kami dengan munawalah’.
5)
Al-Mukatabah (ألمُكَاتَبَةُ)
Periwayatan hadits dengan
cara al-mukatabah adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang
guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menuliskan riwayatnya untuk
diberikan kepada orang yang ada dihadapannya ataupun yang tidak hadir.
Al-mukatabah ada dua macam:
- Mukatabah
al-maqrunah bi al-ijazah,
yakni mukatabah yang disertai dengan ijazah. Misalnya, perkataan
guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”,
atau yang semisal dengannya.
Riwayat
dengan cara ini adalah sahih, karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah
yang disertai ijazah.
- Mukatabah
ghairu al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak disertai
dengan ijazah. Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk
muridnya dan tulisan itu dikirimkan kepadanya, tetapi sang murid tidak
diperbolehkan untuk meriwayatkannya.
Kata-kata yang sering
digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya, كَتَبَ إلَيَّ فُلاَنٌ ‘seseorang telah menulis untukku’.
6)
Al-I’lam (الإِعْلاَمُ)
Periwayatan hadits dengan cara al-i’lam
adalah pemberitahuan sang guru kepada seorang muridnya bahwa hadits tertentu
atau kitab tertentu adalah riwayatnya sendiri dari si fulan (guru seseorang),
namun tidak disertakan izin untuk meriwayatkannya.
Para ulama’ berbeda
pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dengan cara ini. Sebagian ulama’
membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya. Sebagian ulama’ yang melarang
beralasan bahwa kemungkinan sang guru mengetahui dalam hadits tersebut ada
kecacatan, karenanya sang guru tidak member izin untuk meriwayatkannya.
Kata-kata yang digunakan
untuk menyampaikan riwayat dengan cara ini misalnya أعْلَمَنِي شَيْخِي
‘guruku telah member tahu kepadaku’.
7)
Al-Washiyyah (الوَصِيَّةُ)
Washiyyah artinya memesan
atau mewashiyati. Periwayatan
hadits dengan cara al-washiyyah adalah model periwayatan hadits dengan
cara seorang guru memberikan wasiat pada saat mendekati ajalnya atau pada saat
mau mengadakan perjalanan kepada seorang rawi untuk meriwayatkan haditsnya,
atau dengan memberikan sebuah kitab yang ia miliki.
Biasanya kata-kata yang
digunakan dalam meriwayatkan hadits dengan cara wasiat adalah أوْصَى إلَيَّ فُلاَنٌ بِكِتَابٍ ‘si fulan
telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab’, atau حَدَّثَنِي فُلاَنٌ وَصيَّةً ‘si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah
wasiat’.
8)
Al-Wijadah (الوِجَادَةُ)
Wijadah artinya mendapat. Periwayatan hadits dengan cara al-wijadah yaitu: seorang rawi mendapat
hadits atau kitab dengan tulisan orang yang meriwayatkannya, sedang
hadits-hadits ini tidak pernah si rawi mendengar atau menerima dari yang
menulisnya.
Para ulama’ berbeda
pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan lewat jalur wijadah. Kalangan
ulama’ Malikiyyah tidak memperbolehkan hadits diriwayatkan dengan cara wijadah,
sedangkan Imam Syafi’i memperbolehkannya.
Dalam menyampaikan hadits
dengan cara wijadah, biasanya rawi menggunakan kalimat ‘Aku mendapatkan
buku ini dari tulisan si fulan’, atau ‘Aku telah membaca tulisan si fulan’.
Ada yang berpandangan bahwa
hadits yang diriwayatkan dengan cara wijadah tergolong hadits munqati’,
karena rawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
2.4 Macam-Macam
Periwayatan Hadis
Macam-Macam
Periwayatan hadits adalah sebagai berikut :
a) Riwayat
Al-Aqran dan Mudabbaj
Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah
hadits dari kawan-kawannya yang sebaya umurnya atau yang sama-sama belajar dari
seorang guru, maka periwayatannya disebut riwayat al-aqran.sedangkan jika
masing-masing rawi yang segenerasi tersebut saling meriwayatkan hadits,
periwayatannya disebut riwayat mudabbaj. Riwayat al-aqran dan mudabbaj biasa
terjadi untuk setiap thabaqhah rawi, sahabat, tabi’in,dan lain-lain.
b) Riwayat
Al-Akabir an’ Al-Ashaghir
Maksudnya adalah periwayatan hadis oleh
seorang yang lebih tua atau yang lebih banyak ilmunya kepada orang yang lebih
muda atau lebih sedikit ilmunya. Seperti contoh, riwayat shahabat dari tabi’in
(Ibn ‘Abbas dari Ka’ab al-Akhbar), tabi’in dari tabi’at tabi’in (Az-Zuhri dari
Malik), ayah dari anak (Ibn Abbas dari Fadhal, dll.
c) RiwayatAn’
At-Tabi’in ‘An Ash-Shahabat
Maksudnya periwayatan seorang sahabat
yang menerima hadist dari seorang tabi’in yang telah menerima hadis dari
sahabat lain. Seperti contoh ,riwayat Sahal ibn Sa’ad (sahabat) yang menerima
hadist dari Marwan ibn Hakam (tabi’in) yang menerima hadist dari Zaid ibn
Tsabit (Sahabat).
d) Riwayat
As-Sabiq Dan Riwayatal-Lahiq
Apabila dua orang rawi pernah
bersama-sama menerima hadits dari seorang guru, kemudian salah seorang darinya
meninggal dunia, namun sebelum meninggal dunia ia pernah meriwayatkan hadits
tersebut. Maka riwayat rawi yang meninggal tersebut disebut riwayat as-sabiq,
sedangkan riwayat yang disampaikan oleh rawi yang meninggal lebih akhir
tersebut disebut riwayat al-lahiq.
e) Riwayat
Musalsal
Dalam bahasa arab kata musalsal artinya
tali-temali. Maksudnya terdapat satu sifat, keadaan atau perkataan yang selalu
sesuai, bias terjadi pada rawi dan pada periwayatannya. Musalsal fi al-riwayah
dapat mengenai:
1) Shighat
meriwayatkan hadits, yakni bila masing-masing rawi yang meriwayatkan hadits
tersebut selalu menyesuaikan dengan shighat sami’tu, haddatsaniy, dan
lain-lain, rawi yang kemudian pun melakukan hal yang demikian.
2) Masa
meriwayatkan, misalnya meriwayatkan suatu hadits selalu pada masa
tertentu.
3) Tempat
meriwayatkan, yakni hadits selalu diriwayatkan atau dibacakan di tempat-tempat
tertentu.
f) Riwayat
Mutafiq Dan Muttariq
Apabila ada penyesuaian riwayat antara
rawi yang satu dengan yang lain mengenai nama asli, nama samaran, keturunan dan
sebagainya dalam ucapan maupun tulisan, tetapi berlainan orangnya yang dimaksud
dengan nama tersebut disebut muttafiq, dan sebagai lawannya disebut muftariq.
Misalnya rawi yang bernama Hammad ada dua, Hammad ibn Zaid dan Hammad ibn
Salamah.
g) Riwayat
Mu’talif Dan Mukhtalif
Apabila terjadi kesamaan nama rawi,
kuniyah dan laqab itu pada bentuk tulisan sedangkan pada lafazh atau ucapannya
tidak disebut mu’talif dan sebagai lawannya disebut mukhtalif. Misalnya, rawi
Sallam (dengan satu huruf yang dirangkap) tulisannya sama dengan Salam (tidak
ada huruf yang dirangkap).
2.5 Bentuk-Bentuk Hadist
Bentuk-bentuk hadits terbagi atas qauli
(perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi
(keinginan), ahwali (hal ihwal) dan lainnya.
1.
Hadits qauli
Hadits qauli
adalah segala bentuk perkataan, atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW,
yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk, peristiwa, syara’, dan kisah, baik
yang berkaitan dengan aspek aqidah, syari’at maupun akhlak. Contohnya, hadits
yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ
Artinya:
”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”. (Shahih
al-Bukhari, III: 204, hadits 714).
2.
Hadits Fi’li
Hadits fi’li
adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadits tersebut
terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi anutan perilaku para
sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk
mengikutinya. Contohnya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ
الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة
Artinya:
”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya
menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari
tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat”.
3.
Hadits Taqriri
Hadits taqriri
adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di lalukan oleh para
sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan
oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan
atau mempermasalahkannya.
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ
الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي
الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ
بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Artinya:
“Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar, kecuali
(setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian mereka mendapati
(waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan, kita tidak boleh shalat sehingga sampai di perkampungan, dan
sebagian lainnya mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada
di antara kami yang membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi saw,
ternyata beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka”. (Shahih
al-Bukhari, III: 499, hadits 894)
4.
Hadits Hammi
Hadits Hammi
adalah Hadits yang berupa keinginan/hasrat Nabi SAW. yang belum
direalisasikan, seperti: hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Contohnya:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:
“Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para
sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah
hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab,
”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari
kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan, “Belum tiba tahun mendatang
itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim, V: 479, hadits
1916).
5.
Hadits Ahwali
Hadits ahwali
adalah hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tidak termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits di atas. Contohnya:
انَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ
وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِي
Artinya:
“Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi
fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Periwayatan
hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis
itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Orang
yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak
menyampaikan hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai
orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut
menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika
menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang
tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadis”.
Periwayatan
hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya perbedaan
kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis,yang boleh meriwayatkan hadist
adalah mereka yang memiliki kemampuan bhs.arab yang mendalam,dan periwayatan
secara makna boleh dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa dan apabila
mengalami keraguan akan susuna matan hadist, serta periwayatan secara makna
harus secara lafadz.
3.2 Saran
Diakhir tulisan ini kami
selaku penulis ingin
menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
1) Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif
terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam
dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2) Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap
berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada. Karena hal itu akan
menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.
3) Semoga
hasil usaha kami menyusun makalah ini dapat bermanfaat bagi segenap pembaca
terutama kepada kami selaku penulis atau penyusun makalah ini sendiri.
Amin yaa Rabbal Alamiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. H. Ambo Asse,
M.Ag, Ilmu
Hadis: Pengantar Memahami Hadis Nabi SAW, Makassar:
Dar al-Hikmah wa al-‘Ulum. 2016.
MAKALAH
“PERIWAYATAN HADIS”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ilmu Hadis
DISUSUN OLEH :
AKUNTANSI C
IRMA TRIYANI YAHYA (90400117095)
ALFI ARYANSYAH (90400117105)
RISMAWAN (90400117115)
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar